"Selembar Cerpen Aji Yang Tertinggal"
Empat hari yang lalu keponakanku Si Aji datang ke rumah dengan maksud numpang nge-print selembar cerpen yang katanya tugas dari sekolah untuk mengikuti Lomba Menulis Cerpen Untuk SD yang diselenggarakan oleh Diknas Surabaya.
Singkat Cerita, malam itu juga segera ku cetak cerpen hasil buatan si Aji (meski beberapa bagian harus di edit supaya lebih enak dibaca, he he he...)
Dan keesokan harinya ketika kulihat Si Aji maen ke rumah (emang udah kebiasaannya main game online di kamar atas kalau Ibu atau Ayahnya gak ngasih duit), segera kutanyakan tentang cerpen kemarin malam.
"Gimana Aji, cerpen kemarin malam. Apa sudah kamu kumpulkan ke Gurumu?", tanyaku sekedar ingin tahu.
"Walah Om, ditolak Guruku. Soalnya waktunya udah lewat.", jawab Aji sekenanya.
"Wakakakakak, makanya kalau dapat tugas/PR dari Guru segera dikerjakan...jangan ditunda-tunda. Kalau begini, siapa yang salah coba?", nasehatku dengan penuh keseriusan.
Eh, yang diajak bicara...malah gak jawab apa2. Si Aji malah langsung naek ke atas dan tidak berapa lama sudah mulai terdengar suara komputer dinyalakan dan "Elsword" game kesukaannya terdengar mulai dimainkan.
Parah bener nie, punya keponakan kayak yang satu ini...batinku. Dan sejurus kemudian aku teringat dengan file cerpen si Aji yang masih kusimpan di harddisk PC.
Berikut Selembar Cerpen Yang Tertinggal Karangan Si Aji...
"Maafkan Aku, Ibu"
Sore ini aku sedang asyik nonton televisi , acaranya asyik
banget…film kartun Mr. Bean salah satu film kartun kesukaanku.
Tiba-tiba terdengar pintu depan digedor dengan keras,
“Brak,..brak” tidak lama kemudian terdengar suara ibuku memanggilku dengan
keras, “Aji, bukakan pintu!”
Akupun bergegas segera membukakan pintu, dan kulihat ibuku
berjalan tertatih-tatih, agak sempoyongan terlihat mukanya agak lebam (bengkak),
sambil meringis menahan sakit Ibu menuntun motor Mio nya yang sedikit ringsek.
“Kenapa Bu?”, tanyaku penuh keheranan sambil memegang tangan
Ibu.
“Ibu tadi jatuh di jalan, sempat pingsan juga tadi. Untung
tadi ditolong orang”, kata Ibuku sambil duduk bersandar di kursi.
Aku merasa kasihan sekali melihat kondisi Ibuku saat ini.
Diam-diam air mataku menetes merasa sedih.
Ibuku hanyalah
seorang ibu biasa, seperti kebanyakan orang tua pada umumnya, penuh cinta kasih
dan perhatian kepada anak-anaknya.
Yang membuat aku merasa takjub dan bangga hanyalah sifat dan
karakter Ibuku yang ulet dan tidak menyerah pada keadaan bagaimanapun sulitnya.
Ibuku hanya bekerja sebagai seorang guru PNS di sebuah SMK
Negeri di kota ini.
Meski ayahku bekerja sebagai satpam di sebuah Bank cukup
ternama, bukan berarti Kami hidup secara berlebihan, justeru Kami lebih banyak
berhemat untuk mencukupi segala kebutuhan pendidikan dan kebutuhan sehari-hari
sekeluarga.
Bahkan untuk menambah penghasilan Ibuku dibantu oleh kakak
sulungku berjualan dan melayani pesanan kue kering via online di internet.
Meski Ibuku dikenal di kampung sebagai pembuat kue kering,
Ibuku lebih mengutamakan profesinya sebagai seorang guru. Ibuku sering bilang,
boleh punya ketrampilan segudang tapi mengajar tetap paling utama.
Ibuku memang orangnya tak kenal lelah, padahal berangkat
kerja jam 6 pagi sampai rumah jam 7 malam, masih sempat juga memasak dan
membersihkan rumah.
Mungkin Ibuku terlalu sayang kepadaku sehingga tak pernah
menyuruhku mencuci pakaian atau sekedar menyapu lantai rumah. Ibuku hanya marah
kalau aku tak mengerjakan PR yang diberikan oleh guruku.
Ibuku tak pernah memarahi kebiasaanku main game online di
warnet langgananku meski kadang aku sering lupa waktu. Ibu hanya marah kalau
aku tak segera pulang pada waktunya.
Ibuku tak pernah memarahi aku meskipun aku terlambat bangun
tidur, tapi Ibuku selalu memasang alarm di Handphone sehingga mau tidak mau aku
bangun juga tepat sesuai harapan Ibuku.
Ibuku tak pernah memarahi aku meski aku selalu menghabiskan
uang jajanku, tapi kalau aku udah kelewatan boros biasanya Ibuku tidak memberi
uang jajan serupiahpun pada esok harinya.
Sehingga mau tidak mau aku minta uang ke nenek atau om yang
rumahnya tidak jauh dari rumahku.
Ibuku juga tak pernah marah walaupun aku main ke rumah
temanku yang jauh, tapi secara diam-diam Ibuku selalu menyuruh Kakakku atau
Omku untuk mencari tahu di mana aku bermain.
“Aji..kok
ngelamun?”, tiba=tiba Ibuku menepuk bahuku membuat aku kaget.
“Tidak apa-apa kok Bu”, jawabku sambil menyeka air mataku
yang menetes membasahi pipi.
“Lho anak Ibu kok nangis? Anak Lelaki tidak boleh cengeng”,
Ibuku tersenyum sambil memandang wajahku.
“Maafin Aji ya Bu, selama ini Aji merasa menyia-nyiakan
segala kebaikan Ibu. Ibu tidak pernah marah sama Aji, walaupun Aji sering tidak
menurut kepada Ibu.”
“Melihat kondisi Ibu seperti saat ini Aji ikut sedih. Kalau
saja Aji selalu nurut sama Ibu, mungkin Ibu gak akan pulang terburu-buru
sehingga tidak jatuh di jalan tadi.Maafin Aji ya, Bu?”, sahutku lirih sambil
memeluk Ibu.
“Sudahlah, memang tadi salah Ibu karena pulang terburu-buru,
Ibu hanya khawatir kamu tidak ikut les ngaji seperti minggu kemarin. Makanya
Ibu ingin langsung cepat pulang buat mengingatkan kamu,” bisik Ibu sambil
mengelus rambutku dengan penuh rasa sayang.
“Bu, Aji boleh tanya gak, Kenapa sih Ibu tak pernah memarahi
Aji seperti orang tua teman-temanku. Mereka sampai heran karena aku tak pernah
dimarahi sama Ibu?”, tanyaku penuh keheranan.
Kulihat dahi Ibu
agak mengernyit dan matanya menerawang jauh ke depan. Menghela napas sesaat
kemudian berkata, “Masa kecil Ibu tidaklah seberuntung seperti Kamu sekarang.
Kamu bisa bebas bermain dan dapat uang jajan tiap hari.”
“Ibu dibesarkan dalam lingkungan keluarga sederhana atau
boleh dibilang hidup serba pas-pasan. Jangankan untuk beli jajan, untuk
makanpun Kami sekeluarga harus berhemat supaya uang gaji pensiun veteran Kakek bisa cukup
sampai akhir bulan.
Ibu dulu tidak pernah bermain sebebas Kamu, karena Ibu harus
menjaga adik-adik Ibu..sepulang sekolah Ibu harus membantu mencuci pakaian dan
mengerjakan pekerjaan rumah.
Bahkan sampai melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi,
Ibu harus nyambi bekerja supaya bisa mendapatkan uang untuk keperluan kuliah.
Mulai mengajar les privat sampai menjadi sales peralatan rumah tangga dari
pintu ke pintu dan dari rumah ke rumah, Ibu jalani tanpa pernah mengeluh.”
“Itulah makanya Ibu tidak pernah memarahi Aji, walaupun Aji
tidak selalu menuruti kata-kata Ibu. Tapi diam-diam Ibu selalu menyuruh
kakakmu, Tante dan Om supaya ikut mengawasi Kamu.
Aji, Kamu harus lebih banyak bersyukur ya, karena lebih
bernasib baik daripada masa kecil Ibu.” Kata Ibuku sambil mengelus rambutku.
Aku merasa
terharu mendengar cerita Ibu, dan merasa begitu bodohnya diriku telah
menyia-nyiakan kepercayaan Ibuku selama ini.
Aku merasa begitu bodohnya berani sama kakakku yang sering
ngomel kalau aku pulang terlalu malam.
Aku merasa sudah terlalu banyak menghambur-hamburkan uang
hanya untuk menuruti kesukaanku bermain game online di warnet.
Aku merasa begitu besarnya pengorbanan Ibu kepada diriku,
pengorbanan batinnya melihat kenakalanku selama ini.
“Ibu, Aji berjanji tidak akan mengulangi lagi. Aji akan
menuruti segala apa yang diperintahkan ibu, tidak berani kepada kakak, dan
selalu mengerjakan PR yang diberikan Guru, dan tidak bermalas-malasan lagi,”